Rabu, 12 Juni 2013

Kehidupan Rawa di Desa Bangkau


Asa dalam Kehidupan Rawa

Siti Fatimah

Bagi  sebagian  kalangan,  barangkali  mendengar  kata
“Bangkau”  pasti  akan  terbayang  dengan  danaunya  yang
luas  dan  banyak  menghasilkan  berbagai  jenis  ikan  air
tawar.  Bangkau  adalah sebuah desa yang  terletak  kurang
lebih 16 km dari Kecamatan Kandangan  Kabupaten Hulu
Sungai Selatan.
Desa Bangkau daerahnya berupa lahan basah terdiri dari
danau  yang  dikelilingi  rawa  di  sekitarnya.   Apabila
musim hujan tiba akan  terlihat hamparan  air  yang luas. Danau  dan  rawa  di Desa Bangkau
ini adalah salah satu lahan basah yang airnya  bergantung  pada  air hujan.  Pada saat datang
hujan biasanya perairan menjadi subur karena masuknya unsur hara yang terlarut beserta
arus air sungai.
Masyarakat Desa Bangkau  pekerjaan utamanya adalah  nelayan dan pekerjaan sampingan
petani  garapan  musiman  di  musim  panas.  Di  Desa  Bangkau  perubahan  lingkungannya
sangat  dinamis,  yaitu  mulai  dari  permukaan  air  berlimpah,  kemudian  surut,  ada
penambahan  air  dari  perbukitan  yang  muaranya  ke  danau,  dan  ada  juga  mata  air  sungai
yang  berasal  dari  danau  sehingga  habitat  vegetasi  dan  ikan  yang  ada  di  danau  juga  ikut
dinamis.  Perubahan  yang  terjadi  disikapi  oleh  masyarakat  sebagai  siklus  alam  dan
bermanfaat  bagi  kehidupan  karena  menciptakan  kesuburan  perairan  yang  menghasilkan
ikan yang berlimpah, termasuk kesuburan tanah disekitar  danau ketika  air surut  di musim
kemarau.
Siklus yang dinamis telah menciptakan masyarakat beradaptasi didalam memanfaatkan
rawa dan danau, karena pada saat air melimpah danau menghasilkan ikan dan pada saat air
surut di sekitar danau para petani dapat memulai persemaian bibit padi serta saat air kering
dapat ditanami palawija.
Surutnya air dimanfaatkan oleh  para petani  untuk memulai menyemai bibit padi di  lahan
yang  masih  tergenang  air  dekat  rumah  mereka.  Dalam  menyemai,  masyarakat  Desa
Bangkau telah mengembangkan pertanian terapung yang disebut dengan “hampung”, yang
memanfaatkan kondisi lahan yang tergenang dan melimpahnya kumpai (gulma air) sebagai
substrat untuk bercocok tanam.. Teknik bercocok tanam ini merupakan  salah satu  metode
unik  bentuk  kearifan  ekologis  penemuan  (inovasi)  masyarakat  setempat  yag  sudah  turun
temurun.
Lahan yang tergenang di Desa Bangkau banyak sekali ditumbuhi oleh gulma air  terutama
eceng gondok. Eceng  gondok (Eichhornia crassipes) adalah salah satu jenis tumbuhan air
mengapung.  Pesatnya  pertumbuhan  gulma  air  ini  menjadi  berkah  tersendiri  bagi  para
petani  untuk  membuat  konstruksi  hamparan  terapung  yang  dapat  ditanami  benih  (bibit
padi)  tanaman pertanian  dengan bantuan batangan bambu. Untuk memulai pembuatannya,
para petani menaruh beberapa bambu (sesuai dengan panjang sampai ujung hamparan yang
diinginkan),  kemudian  di  atasnya  diberi  tumpukan  eceng  gondok  dewasa  yang  telah
dikumpulkan. Untuk membuat sebuah hamparan, diperlukan enceng gondok yang tumbuh
di daerah kira-kira lima kali lebih besar dibandingkan hamparan itu sendiri.
Eceng  gondok  yang  dipilih  adalah  yang  sudah  dewasa,  karena  lebih  lambat  membusuk
dibandingkan  yang  muda.  Lapisan  pertama  eceng  gondok  bertindak  sebagai  hamparan
yang  mengapung,  yang  bisa  membuat  stabilitas,  daya  apung,  dan  ketebalan  hamparan.

Setelah itu diberi lapisan kedua yaitu tanah lamuk (tanah lumpur  yang kaya dengan unsur
hara)  terdapat  di  dasar  lahan  yang  tergenang.  Lapisan  ini  berguna  sebagai  tempat  untuk
menyemaikan biji-biji padi atau yang biasa disebut di daerah ini adalah “taradak”.
Setelah  ditaburkan  bibit  atau  semaian  biji-biji  padi,  maka  biji-biji  semaian    ini  harus
ditutup  kembali  dengan  tanah  lumpur  dan  gulma  air.  Lapisan  pertama  sebagai  penutup
adalah tanah lumpur dan lapisan  yang kedua gulma air  (kumpai). Penutupan ini berguna
agar biji-biji yang disemai saat turun hujan tidak larut bersama air hujan.
Dalam waktu kurang lebih satu  atau dua  minggu semaian akan berkecambah. Pada saat ini
bagian penutup gulma air diambil.  Kecambah    dibiarkan tumbuh dan berkembang  dalam
batas waktu tertentu.
Semaian  yang  sudah  menjadi  anakan  benih  kemudian  dicabut  dan  dibuat  ikatan-ikatan
kecil  untuk  memudahkan  membawanya.  Di  daerah  ini  anakan  padi  yang  sudah  dicabut
disebut “ampakan”.    Anakan ini nantinya akan dibawa ke areal pertanian  yang sudah surut
airnya tetapi tanahnya masih lembab untuk ditanam.
Lokasi mereka bertani tidak mudah dijangkau karena tidak bisa dicapai dengan  kendaraan
darat  seperti  sepeda  motor  atau  mobil.  Satu-satunya  transportasi  yang  bisa  digunakan
adalah jukung atau perahu kecil bermesin yang dikenal dengan jukung ces
Luar  biasa!  Itulah  kata-kata  paling  tepat  untuk  menggambarkan  cara  bertani  di  areal
pertanian perairan  Desa Bangkau, warga di daerah ini bertani lebih banyak menghabiskan
waktunya  dengan  kehidupan  alam  di  kawasan  rawa.  Maka,  tak  heran  jika  mendatangi
rumah-rumah petani di desa banyak rumah yang kosong.
Para petani selama sepekan penuh berada di pahumaan (areal pertanian atau kebun). Untuk
menemui  mereka,  tamu  harus  menunggu  mereka  kembali  pada  Kamis  atau  Jumat.  Para
petani itu pulang hanya untuk shalat Jumat, sekaligus menyiapkan bekal selama sepekan
tinggal di lapau atau gubuk di areal pertanian.
Berdasarkan  pada  kearifan  ekologi  dari  cara  masyarakat  Desa  Bangkau  memanfaatkan
lingkungan yang berlahan basah, maka dapat diambil suatu kesimpulan bahwa lahan basah
terbukti mampu menunjang kehidupan manusia secara berkelanjutan.  Tidaklah berlebihan
jika  dikatakan  bahwa  ekosistem  lahan  basah  yang  sehat  (dikelola  dengan  baik)  ikut
memberikan  kontribusi  terhadap  kesejahteraan  manusia.  Maka  tugas  kita  yang  sangat
diperlukan  sekarang  adalah  menelaah  dan  membangun  kembali  kearifan  ekologi  yang
sudah  ada  di  masyarakat.  Tujuannya  adalah  membantu  masyarakat  melindungi  dan
mengurangi kerentanan sumber-sumber sistem ketahanan pangan  dari ancaman perubahan
iklim berupa kondisi cuaca yang semakin tidak menentu dan semakin ekstrim.

PUSTAKA ACUAN
Mochammad Arief Soendjoto & Kurnain A. Pengelolaan Sumber Daya Alam dalam
Perspektif Kesejahteraan dan Keberlanjutan. Universitas Lambung Mangkurat
Press.

Maskot Fauna


Maskot Fauna yang Hampir Tak Bernyawa

by Siti Fatimah

Dari  berbagai  daerah  di  provinsi  Kalimantan
Selatan  terdapat  sebuah  pulau  unik  yang
bernama  Pulau  Kaget.  Keunikan  tersebut
disebabkan  oleh  berkembangnya  habitat
satwa  pemalu  yang  menjadi  maskot  fauna
Kalimantan  Selatan,  yakni  kera  hidung
panjang  atau  yang  dikenal  dengan  nama
bekantan  (Nasalis  larvatus).  Adanya  satwa
bekantan   sebagai  salah  satu  jenis  binatang
liar  yang  telah  dilindungi  undang-undang
hidup dikawasan ini,  maka  Pulau Kaget ditetapkan sebagai  Cagar  Alam berdasarkan SK.
Menteri  Pertanian  No.  701/Kpts/Um/11/1976  dengan  luas  85  ha  (Dephut,2001).  Namun,
berdasarkan hasil pengukuran Balai Planologi Hutan tahun 1981, luas Cagar Alam tersebut
hanya sekitar 62 ha.
Pulau  Kaget  dan  bekantan  dijadikan  obyek  wisata  andalan  Kalimantan  Selatan  (Kalsel).
Para wisatawan yang datang ke pulau tersebut tidak hanya berasal dari Kalimantan Selatan
tetapi juga dari luar daerah, bahkan ada  yang berasal dari luar negeri  (wisatawan asing).
Pengunjung  yang  datang  bisa  menjelajah  kawasan  ini  dengan  leluasa  untuk  melihat
keunikan satwa berhidung panjang.
Namun,  keadaan  ini  hampir  tidak  bisa  dinikmati  lagi  oleh  para  wisatawan  karena  akhirakhir  ini  kondisi  alam  Pulau  Kaget  cukup  kritis  karena  mengalami  peranggasan.
Peranggasan    pohon  rambai  (Sonneratia  caseolaris)  ditandai  dengan  peluruhan
(pengguguran)  hebat  daun  rambai.  Daun  rambai  merupakan  sumber  makanan  bagi
bekantan.  Akibatnya  populasi  bekantan  semakin  menurun  sehingga  status  konservasi
bekantan  dimasukkan  dalam  kategori  "terancam  kepunahan"  (Endangered)  setelah
sebelumnya  masuk  kategori  "rentan"  (Vulnerable;  VU).  Bekantan  juga  terdaftar  pada
CITES  (Convention  on  International  Trade  in  Endangered  Species  of  Wild  Fauna  and
Flora) sebagai Apendiks I  atau tidak boleh diperdagangkan secara internasional  (CITES,
2012).
Dari kenyataan di atas, maka diperoleh untaian benang merah bahwa penurunan populasi
bekantan  di Pulau Kaget  disebabkan  ketersediaan sumber makanan  yang  sangat terbatas.
Keterbatasan  tersebut  digeneralisasi  dalam  beberapa  pendapat  yang  mungkin  terjadi,
seperti  kelebihan populasi bekantan sedangkan potensi makanan relatif tetap,  penebangan
pohon rambai  untuk dijadikan kayu bakar,  kematian  pohon  rambai akibat  kekurangan air
pada  musim kemarau yang situasional  dan sebuah peristiwa jangka panjang yang hampir
luput dari pengamatan, yakni pencemaran air.
Tiga  pendapat  pertama, yaitu  kelebihan populasi bekantan,  penebangan  pohon rambai  dan
kekeringan  tidak  terbukti  jika  kita  telaah  sebuah  karya  apik  “Merindukan  Alam  Asri
Lestari”  oleh  Mochammad  Arief  Soendjoto  terbitan  Universitas  Lambung  Mangkurat
Press.  Pendapat  Soendjoto  (Dinamika  Berita:1996)  pencemaran  air  dan  limbah  padat
adalah faktor utama penyebab kekeringan dan kematian pohon rambai.
Letak Pulau Kaget di Muara Sungai Barito ternyata benar-benar strategis. Strategis  untuk
pembinasaan  secara  perlahan  namun  pasti.  Mengapa  demikian?  Muara  sungai  artinya
2
tempat dimana air dari seluruh cabang sungai melakukan reuni. Saat jatuh dari langit yang
tinggi, mereka hanya sendiri. Namun dalam perjalanannya, mereka membawa  serta residuresidu  yang  tidak  seharusnya  meraka  bawa.  Mereka,  air  sungai,  membawa  limbah  yang
berasal  dari  industri  yang  mangkal  di  tepian  sungai  dan  dari  wilayah  kota.  Limbah  juga
bisa  berasal  dari  arah  laut,  yaitu  dari  kapal-kapal  yang  sedang  dalam  masa  penantian  di
Muara Barito.  Limbah itu bisa berupa limbah cair, seperti oli, zat pewarna, limbah pabrik
maupun berupa  limbah padat yang hampir mencapai level abadi seperti plastik, kaca, besi,
baterai dengan zat kimianya dan logam lainnya.
Keberadaannya di Muara Barito membuat  Pulau Kaget dikepung oleh armada limbah yang
tangguh. Penumpukan limbah terjadi di sekitar pulau bahkan mungkin ada  yang  berhasil
menerobos pertahanan dan menjadi penghuni ilegal di wilayah Pulau Kaget. Limbah dalam
kategori  inilah yang  meracuni tanaman rambai. Rambai  yang sudah menyerap racun tidak
punya pilihan lain selain kematian.  Keturunannya  pun tidak memiliki harapan hidup jika
bersikeras  tumbuh  di  sana.  Kematian  pohon  rambai  dalam  habitat  bekantan  tentu  saja
mengancam  kelangsungan  hidup  bekantan.  Jadi,  sudah  bisa  ditebak  siapa  pelaku
pembunuhan kawanan rambai ini.
Apabila kondisi ini berlaku secara permanen, maka mau tidak mau atau suka tidak suka
tindakan  evakuasi  bekantan  perlu  dilakukan.  Evakuasi  merupakan  perpindahan  pada
potongan  kecil  dari  seluruh  populasi  ke  suatu  kawasan  yang  sesuai  dengan  habitat  asli.
Setidak-tidaknya  terdapat  dua  daerah  pendukung  untuk  antisipasi,  dimana  satu  daerah
bertindak  sebagai  pengaman.  Evakuasi  besar-besaran  malah  akan  mengakibatkan
bumerang,  karena  dikhawatirkan  akan  menimbulkan  masalah  baru  yang  lebih  kompleks.
Ketidaksesuaian  habitat  bekantan  pada  daerah  baru  akan  menyebabkan  musnahnya
keseluruhan populasi bekantan yang dievakuasi.
Penyelamatan  Pulau  Kaget  dan  bekantan  sebagai  obyek  wisata  sampai  sekarang  masih
belum maksimal karena terkendala berbagai hal, maka perlu  dilakukan rekonstruksi wisata
berobyek  bekantan  di  daerah  lain  agar  dapat  mengatasi  kemerosotan  kepariwisataan
Kalsel.    Menurut  Soendjoto  (B.Post:2003)  ada  dua  tipe  habitat  yang  unik  yaitu  kawasan
berbukit kapur (di Tabalong) dan hutan karet (di wilayah hulu sungai, Tabalong) kaya akan
habitat  bekantan.  Namun,  rekonstruksi  itu  harus  memerhitungkan  ancaman  kelestarian
habitat bekantan.
Mengingat  betapa  pentingnya  pelestarian  bekantan  sebagai  maskot  fauna  Kalimantan
Selatan,  maka  tindakan  yang  cepat  dan  lugas  bagi  kelestarian  satwa  pemalu  berhidung
panjang ini  perlu menjadi perhatian yang serius. Apakah maskot fauna Kalimantan Selatan
akan  dibiarkan tanpa memilki nyawa?  Dan hanya sebuah atribut megah tanpa keberadaan
fauna hidup itu sendiri atau melakukan rotasi ke jenis fauna lain. Satu jawaban yang pasti
adalah “tidak”.
3
PUSTAKA ACUAN
CITES, 25 Desember 2012. Appendices I, II and III
(http://www.cites.org/eng/app/appendices.php).
Dephut.go.id. 2001.Penyelamatan Bekantan (Nasalis larvatus) di Kawasan Cagar Alam
Pulau Kaget Propinsi Kalimantan Selatan
(http://www.dephut.go.id/INFORMASI/PROPINSI/KALSEL/bekantan_kaget.html
).
Mochammad Arief Soendjoto. Merindukan Alam Asri Lestari. Universitas Lambung
Mangkurat Press.
Wikipedia.org, 23 Februari 2013. Kalimantan Selatan
(http://id.wikipedia.org/wiki/Kalimantan_Selatan).