Asa dalam Kehidupan Rawa
Siti Fatimah
Bagi sebagian kalangan, barangkali mendengar kata“Bangkau” pasti akan terbayang dengan danaunya yang
luas dan banyak menghasilkan berbagai jenis ikan air
tawar. Bangkau adalah sebuah desa yang terletak kurang
lebih 16 km dari Kecamatan Kandangan Kabupaten Hulu
Sungai Selatan.
Desa Bangkau daerahnya berupa lahan basah terdiri dari
danau yang dikelilingi rawa di sekitarnya. Apabila
musim hujan tiba akan terlihat hamparan air yang luas. Danau dan rawa di Desa Bangkau
ini adalah salah satu lahan basah yang airnya bergantung pada air hujan. Pada saat datang
hujan biasanya perairan menjadi subur karena masuknya unsur hara yang terlarut beserta
arus air sungai.
Masyarakat Desa Bangkau pekerjaan utamanya adalah nelayan dan pekerjaan sampingan
petani garapan musiman di musim panas. Di Desa Bangkau perubahan lingkungannya
sangat dinamis, yaitu mulai dari permukaan air berlimpah, kemudian surut, ada
penambahan air dari perbukitan yang muaranya ke danau, dan ada juga mata air sungai
yang berasal dari danau sehingga habitat vegetasi dan ikan yang ada di danau juga ikut
dinamis. Perubahan yang terjadi disikapi oleh masyarakat sebagai siklus alam dan
bermanfaat bagi kehidupan karena menciptakan kesuburan perairan yang menghasilkan
ikan yang berlimpah, termasuk kesuburan tanah disekitar danau ketika air surut di musim
kemarau.
Siklus yang dinamis telah menciptakan masyarakat beradaptasi didalam memanfaatkan
rawa dan danau, karena pada saat air melimpah danau menghasilkan ikan dan pada saat air
surut di sekitar danau para petani dapat memulai persemaian bibit padi serta saat air kering
dapat ditanami palawija.
Surutnya air dimanfaatkan oleh para petani untuk memulai menyemai bibit padi di lahan
yang masih tergenang air dekat rumah mereka. Dalam menyemai, masyarakat Desa
Bangkau telah mengembangkan pertanian terapung yang disebut dengan “hampung”, yang
memanfaatkan kondisi lahan yang tergenang dan melimpahnya kumpai (gulma air) sebagai
substrat untuk bercocok tanam.. Teknik bercocok tanam ini merupakan salah satu metode
unik bentuk kearifan ekologis penemuan (inovasi) masyarakat setempat yag sudah turun
temurun.
Lahan yang tergenang di Desa Bangkau banyak sekali ditumbuhi oleh gulma air terutama
eceng gondok. Eceng gondok (Eichhornia crassipes) adalah salah satu jenis tumbuhan air
mengapung. Pesatnya pertumbuhan gulma air ini menjadi berkah tersendiri bagi para
petani untuk membuat konstruksi hamparan terapung yang dapat ditanami benih (bibit
padi) tanaman pertanian dengan bantuan batangan bambu. Untuk memulai pembuatannya,
para petani menaruh beberapa bambu (sesuai dengan panjang sampai ujung hamparan yang
diinginkan), kemudian di atasnya diberi tumpukan eceng gondok dewasa yang telah
dikumpulkan. Untuk membuat sebuah hamparan, diperlukan enceng gondok yang tumbuh
di daerah kira-kira lima kali lebih besar dibandingkan hamparan itu sendiri.
Eceng gondok yang dipilih adalah yang sudah dewasa, karena lebih lambat membusuk
dibandingkan yang muda. Lapisan pertama eceng gondok bertindak sebagai hamparan
yang mengapung, yang bisa membuat stabilitas, daya apung, dan ketebalan hamparan.
Setelah itu diberi lapisan kedua yaitu tanah lamuk (tanah lumpur yang kaya dengan unsur
hara) terdapat di dasar lahan yang tergenang. Lapisan ini berguna sebagai tempat untuk
menyemaikan biji-biji padi atau yang biasa disebut di daerah ini adalah “taradak”.
Setelah ditaburkan bibit atau semaian biji-biji padi, maka biji-biji semaian ini harus
ditutup kembali dengan tanah lumpur dan gulma air. Lapisan pertama sebagai penutup
adalah tanah lumpur dan lapisan yang kedua gulma air (kumpai). Penutupan ini berguna
agar biji-biji yang disemai saat turun hujan tidak larut bersama air hujan.
Dalam waktu kurang lebih satu atau dua minggu semaian akan berkecambah. Pada saat ini
bagian penutup gulma air diambil. Kecambah dibiarkan tumbuh dan berkembang dalam
batas waktu tertentu.
Semaian yang sudah menjadi anakan benih kemudian dicabut dan dibuat ikatan-ikatan
kecil untuk memudahkan membawanya. Di daerah ini anakan padi yang sudah dicabut
disebut “ampakan”. Anakan ini nantinya akan dibawa ke areal pertanian yang sudah surut
airnya tetapi tanahnya masih lembab untuk ditanam.
Lokasi mereka bertani tidak mudah dijangkau karena tidak bisa dicapai dengan kendaraan
darat seperti sepeda motor atau mobil. Satu-satunya transportasi yang bisa digunakan
adalah jukung atau perahu kecil bermesin yang dikenal dengan jukung ces
Luar biasa! Itulah kata-kata paling tepat untuk menggambarkan cara bertani di areal
pertanian perairan Desa Bangkau, warga di daerah ini bertani lebih banyak menghabiskan
waktunya dengan kehidupan alam di kawasan rawa. Maka, tak heran jika mendatangi
rumah-rumah petani di desa banyak rumah yang kosong.
Para petani selama sepekan penuh berada di pahumaan (areal pertanian atau kebun). Untuk
menemui mereka, tamu harus menunggu mereka kembali pada Kamis atau Jumat. Para
petani itu pulang hanya untuk shalat Jumat, sekaligus menyiapkan bekal selama sepekan
tinggal di lapau atau gubuk di areal pertanian.
Berdasarkan pada kearifan ekologi dari cara masyarakat Desa Bangkau memanfaatkan
lingkungan yang berlahan basah, maka dapat diambil suatu kesimpulan bahwa lahan basah
terbukti mampu menunjang kehidupan manusia secara berkelanjutan. Tidaklah berlebihan
jika dikatakan bahwa ekosistem lahan basah yang sehat (dikelola dengan baik) ikut
memberikan kontribusi terhadap kesejahteraan manusia. Maka tugas kita yang sangat
diperlukan sekarang adalah menelaah dan membangun kembali kearifan ekologi yang
sudah ada di masyarakat. Tujuannya adalah membantu masyarakat melindungi dan
mengurangi kerentanan sumber-sumber sistem ketahanan pangan dari ancaman perubahan
iklim berupa kondisi cuaca yang semakin tidak menentu dan semakin ekstrim.
PUSTAKA ACUAN
Mochammad Arief Soendjoto & Kurnain A. Pengelolaan Sumber Daya Alam dalam
Perspektif Kesejahteraan dan Keberlanjutan. Universitas Lambung Mangkurat
Press.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar